Latest News
Home » Berita » Repratiasi 91 Satwa Endemik Indonesia dari Filipina
Home » Berita » Repratiasi 91 Satwa Endemik Indonesia dari Filipina

Repratiasi 91 Satwa Endemik Indonesia dari Filipina

Gakkum Sulawesi, Jumat, (31/7/2020) – Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, bersama Walikota Bitung, Maximiliaan J. Lomban, Kepala Balai Gakkum Sulawesi dan Kepala BKSDA Sulut, Noel Layuk Allo menerima kembali pemulangan (Repratiasi). 91 individu satwa endemik Indonesia yang yang diselundupkan ke Filipina terdiri dari reptil, mamalia, dan aves (burung). Kamis, (30/7/2020).

Tim penjemput repatriasi melaporkan kepada Dirjen Penegakan Hukum dan Walikota Bitung di Pelabuhan Bitung bahwa Satwa-satwa tersebut diberangkatkan dari Davao City Filipina, Senin, 27 Juli 2020, menggunakan kapal Gloria 28 dari pelabuhan Sta. Ana Devao pukul 19.00 waktu setempat dan tiba di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara Indonesia, Kamis, (30/7/2020) pukul 06.00 wita.

Satwa tersebut akan diobservasi di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki di Bitung, sampai siap untuk dilepasliarkan kembali ke alam.

Selanjutnya, Dirjen Gakkum dan Walikota Bitung meninjau Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki untuk proses pemulihan sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya.

Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani menyampaikan bahwa inisiasi repatriasi dilakukan oleh Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Ditjen KSDAE KLHK, Indra Exploitasia Semiawan, yang juga Management Authority (MA) CITES Indonesia.

Berawal saat dia menerima informasi dari MA CITES Filipina tentang adanya satwa yang disita pada tanggal 8 April 2019 dan perlu konfirmasi asal satwa. Hasil identifikasi jenis satwa asal-usul satwa tersebut dari Indonesia wilayah timur antara lain walabi, kasuari dan julang Papua.

Kemudian repatriasi dapat dilakukan setelah menindaklanjuti Putusan Pengadilan Matic City dimana pada tanggal 14 Oktober 2019 telah memerintahkan Pemerintah Filipina untuk mengembalikan 134 satwa yang masih hidup kepada Pemerintah Indonesia.

Sesuai dengan Article VII of the Convention dan Resolusi CITES Conf. 17.8., dan setelah pertemuan bilateral antara MA CITES Indonesia dengan MA CITES Filipina, kedua pihak menyepakati untuk memulangkan satwa liar tersebut ke Indonesia.

Menindaklanjuti putusan pengadilan ini dilakukan langkah repatriasi satwa-satwa tersebut. Rasio Ridho Sani menambahkan, keberhasilan repatriasi ini kerjasama banyak pihak seperti Ditjen KSDAE KLHK, Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan RI di Jenewa, Manila, Davao serta Direktorat Astara, Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai), Kementerian Pertanian (Badan Karantina Hewan dan Direktorat kesehatan Hewan), Pemerintah Kota Bitung, dan Yayasan Masarang (PPS Tasikoki).

Repratriasi kali ini merupakan jumlah terbesar yang berhasil dilakukan. Rasio Sani menambahkan bahwa Repatriasi atau pengembalian 91 satwa ini menunjukkan bahwa komitmen dan konsistensi pemerintah dalam menyelamatkan kekayaan kehati Indonesia.

“Kami tidak akan berhenti mengejar pelaku kejahatan perburuan dan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa. Kejahatan perdangan satwa illegal ini merupakan kejahatan transnational melibatkan aktor lintas negara. Untuk itu berbagai kerja sama internasional kita lakukan, termasuk terkait dengan pemulangan satwa ini,” kata Rasio Sani.

Rasio Sani menegaskan, Pemerintah terus mempelajari berbagai modus operandi perdagangan illegal satwa ini. Termasuk terus memonitor perdagangan melalui online. “Kami juga telah bekerjasama dengan berbagai negara untuk menghentikan kejahatan transnational seperti ini termasuk dengan pihak INTERPOL. Dalam beberapa tahun ini sudah lebih dari 300 kasus kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa berhasil ditindak oleh KLHK. Ancaman pelaku kejahatan ini adalah pidana penjara 5 (lima) tahun,” tandas Rasio Sani.

Mewakili KLHK, Dirjen Gakkum menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung upaya penyelamatan satwa ini, terutama kepada Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan RI di Jenewa, Manila, Davao serta Direktorat Astara, Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai), Kementerian Pertanian (Badan Karantina Hewan dan Direktorat kesehatan Hewan), Pemerintah Kota Bitung, dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-per-satu, termasuk dengan Yayasan Masarang (PPS Tasikoki).

Share ke social media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *